Jumat, 24 Januari 2014

Profil Penyair Indonesia dishare oleh Sahabat Rumah Puisi #KopdarPuisi



Tentunya kita semua mempunyai idola, nah disini kami berbagi info penyair-penyair Negeri ini untuk lebih dekat dan menambah pengetahuan dan kecintaan kami terhadap mereka. Berikut beberapa profil penyair Indonesia yang dishare oleh Sahabat Rumah Puisi di Group WA #KopdarPuisi dalam rubrik #SeninPenyair




Widji Thukul yang bernama asli Widji Widodo, lahir di  kampung Sorogeneng Solo, 26 Agustus 1963. Beliau adalah seorang Sastrawan sekaligus aktivis.
Widji Tukul lahir dari keluarga sederhana, tukang becak, jualan koran, jadi calo karcis bioskop, tukang pelitur pernah ia geluti. Pun ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. 

Ia mulai menulis sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok teater jagat, ia sering kali ngamen puisi.

Pendidikan tertinggi Thukul adalah sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan tari dan hanya sampai kelas dua karena kesulitan keuangan.

Kendati hidupnya sulit, ia aktif menyelangarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan tempat ia dan istrinya tinggal.

Thukul pernah jadi koraban penculikan, pada tahun 1996-1998, sejumlah aktivitivis ditangkap, Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
Dari beberapa aktivis yang hilang hilang 4 orang dinyatakan tewas, namun tidak termasuk nama WIdji Thukul, penculikan terjadi mungkin karena tukul dan teman2nya berani berseberangan dengan pemerintah orde baru saat itu, sajak2nya berani menyuarakan kebenaran.

Ada tiga sajak Thukul yang menjadi sjak wajib dalam aksi-aksi masa, peringatan, Sajak Suara, Bunga dan Tembok, ketiganya sajak tersebut ada dalam antologi Mencari Tanah Lapang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda pada Tahun 1994. Namun sebernya diterbitkan oleh KITLV dan penerbit Kasta Mitra, Jakarta.  Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pemerintah orde baru.

Berikut salah satu puisinya



PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul, 1986)


 #SeninPenyair di share oleh : MinVan






Yudhistira Adinugraha Massardi, lahir di  Subang, jawa barat 28 februari 1954. Di samping penyair, ia juga penulis novel. Novelnya yg terkenal adl  Arjuna Mencari Cinta (1977) , Ding Dong (1978). Sementara kumpulan puisinya dibukukan dalam - Omong Kosong (1978) , Sajak sikat gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982).
berikut saya tulis salah satu puisinya yang bernada main-main, mirip puisi mbeling;

Sajak Sikat Gigi

Seorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan
(Sajak Sikat Gigi, 1974 )

#SeninPenyair di share oleh : Ilham



Asmara Hadi, Lahir di Bengkulu, Sumaters Selatan, meninggal pada 3 September 1976 di Bandung. Nama sebenarnya adalah Abdul Hadi, sering pula ia menggunakan nama Ipih. Yakni nama kekasih lamanya yang telah meninggal dunia. Mendiang itu banyak memberi ilham puisi-puisinya dan mendorong semangatnya untuk berjuang.

Sejumlah sajaknya dihimpun dalam Asmara Hadi : Penyair Api Nasionalisme (1965) Susunan J. U Nasution.

Puisi-puisinya ada dalam atologi Puisi Baru (1946) susunan S Alisjahbana dan Pujangga Baru : Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B. Jasin.

Salah satu karyanya :

Bilakah

Bilakah alam bersinar senang
Diterangi surja kemerdekaan?
Bilakah rakjat bernafas tenang
Menghisap udara kemerdekaan?

Bilakah terbit bintang,, Merdeka?
Menyinari alam Indonesia?
Bilakah hilang malam tjalaka
Kehidupan senang bersukaria

Disanalah baru aku berhenti
Dari bermenung berhati duka
Hari panas, tiada sabar.

Fikiran Rakjat, no 24, Des 1932.
 



#SeninPenyair  di share oleh Ridawa S.


 


Toto Sudarto Bachtiar, lahir 12 Oktober 1929 di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Pendidikannya: HIS Banjar (Ciamis), SPMP Tasikmalaya, SMP Cirebon, MULO, dan SMA Bandung, serta Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Ketika pecah perang kemerdekaan, dia tergabung ke dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya; dan ketika terjadi Clash I, dia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon.


Ketika dia menjadi mahasiswa di Jakarta, dia pun menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI). Sejak saat itu dia menulis puisi, menerjemahkan cerita pendek, esai, artikel kebudayaan, sastra, politik, dan lain-lain. Pernah menjadi redaktur Menara di Jakarta, dan turut mendirikan majalah Sunda di Bandung, 1964. Pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Mengumumkan puisinya pada tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953.
Bukunya yang sudah terbit: Suara (1956), yang mendapat Hadiah Sastra Nasional dari BMKN tahun 1955-1956, dan Etsa (1958).
Karya terjemahannya antara lain: Bunglon (1965, memuat cerita pendek karya Ernest Hemingway, Anton Chekov, Rainer Maria Rilke), Pelacur (J.P. Sartre, 1954), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs; bersama Sugiarta Sriwibawa), dan Pertempuran Penghabisan (E. Hemingway, 1976).
Puisinya ada dalam Anthologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine (1972).

Berikut salah satu puisi beliau.
Pahlawan Tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda

#SeninPenyair di share oleh : Wahyu Wibowo


 

Sitok Srengenge, lahir di Desa Dorolegi, Kecamatan Gondong, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah. 22 Agustus 1965.

Pendidikan,
SMP (Demak)
SMA 1 (Semarang)
IKIP Negeri Jakarta  Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia

Aktivitas,
Pengajar IKJ
Pendiri Komunitas Gorong-Gorong Budaya
Pendiri Komunitas Utan Kayu
Pengelola Penerbitan Kata Kita
Pengelola Senthong Seni Srengenge di Yogyakarta
Kurator Komunitas Salihara

Karya tulis Antologi Puisi,
Persetubuhan Liar
Anak Jadah
Nonsens
Ambrosia
Kelenjar Bekisar Jantan
On Nothing
Trilogi Tripitaka

Karya Tulis Novel
Menggarami Burung Terbang
Trilogi Kutil

Karya Tulis Esai
Sang Pencerah

Penghargaan
Sih Award (Puisi Terbaik)
Anugrah Pusat Bahasa dan Kementerian Departemen Pendidikan Nasional (buku terbaik)
Leader of Millennium dalam bidang sosial budaya dari majalah Asianweek (2000).

Berikut salah satu puisi beliau.

Cinta Pertama

Udara yang kuhirup kali pertama kini entah dimana
Kadang aku bayangkan ia kekasih yang akan bersedih bila kau tiada
Sebab ia tahu, baginya kubuka rahasiaku kali pertama
Aku tak peduli berapa raksa tubuh ia masuki sebelum dan sesudahku
Pengalaman pertamaku dengannya selalu kuulang
Sampai aku mati dan dia akan sedih seperti yang ku bayangkan.

#SeninPenyair di share oleh : MinVan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar